Kamis, 17 November 2016

Pendidikan Karakter di Indonesia: TREE OF CHARACTER (What's Wrong About Education in Our Beloved Country)

ALARM PENDIKAR KESIANGAN
Oleh : Ni Nengah Ari Widiastuti
Character is like a tree and reputation like its shadow. The shadow is what we think of it; the tree is the real thing
—Abraham Lincoln—

            Kata bijak dari presiden Amerika Serikat yang ke 16 ini memberikan pengertian bahwa nama baik akan selalu bergantung pada bagaiman karakter dari pemiliknya, meski hasil akhir yang selalu kita temui adalah popularitas. Bangsa yang besar tentu adalah bangsa yang mempunya karakter yang kuat; kecerdasan warganya bukanlah indikator utama. Apalah gunanya cerdas tanpa karakter, seperti senapan tanpa peluru. Setiap bangsa pasti mempunyai seni tersendiri untuk menanamkan karakter yang kuat pada setiap penduduknya. Begitu pula dengan Indonesia. Negara majemuk yang satu ini memang mencantumkan pendidikan karakter dalam kurikulum nasional yang digunakan sebagai pedoman belajar di sekolah.
            Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan karakter, pendidikan karakter di Indonesia lebih  menekankan pada pengembangan potensi dan akhlak mulia yang dibutuhkan oleh diri seseorang, bangsa dan negara. Namun, kenyataannya banyak penyimpangan moral yang terjadi di kalangan pelajar. Usia remaja memang seperti hutam rimba yang membingungkan, dimana seorang individu berusaha untuk bertahan dan menemukan jati diri atau sisi paling potensial dalam dirinya. Saat ini pendidikan karakter di Indonesia dianggap belum berhasil, hal ini di lihat dari tingginya angka kenakalan remaja. BKKBN menyatakan bahwa dari 3 juta kasus aborsi—700.000 hingga 800.000 pelakunnya adalah remaja—dimana 65% diluar kasus aborsi, remaja melakukan hubungan seksual di luar nikah[1]; pengguna narkoba di Indonesia juga sebagian besar dari kalangan remaja. Tak tanggung-tanggung jumlah remaja pengguna narkoba mencapai 3,2 juta orang. Hal lain yang lebih memprihatinkan adalah panggung laga pelejar Indonesia. Pada tahun 2012 terhitung telah terjadi 139 kasus tawuran antar pelajar, dimana 12 diantaranya menyebabkan kematian.[2]
            Kasus-kasus di atas seolah perlombaan yang rekor yang buruk yang telah dicapai oleh pelajar di Indonesia. Data ini sebenanya hanya puncak dari iceberg[3] di samudra yang luas. Masih banyak yang belum mengetahui dan mesih banyak yang enggan untuk mencari tahu. Namun, hal ini bukan sepenuhnya salah pelajar. Desakan ekonomi membuat siswa-siswi di Indonesi minim perhatian dan kehilangan jati diri. Jika kita berfikir sekolah adalah rumah pembentukan karakter, lalu dimana anak-anak yang tidak sekolah harus menempa diri dan mencetak karakter yang apik? Kenyataannya banyak siswa yang hanya lulus SMP atau bahkan SD. Mirisnya karena kendala finasial malah banyak orang tua yang menikahkan anaknya karena sudah tidak ada biaya untuk sekolah. Anak-anak yang haus akan pendidikan dan rasa ingin tahu ini malah disuapi pahitnya kenyataan hidup, tentu tak sedikit dari mereke yang berujung pada tindakan kriminalitas.
            Selama ini pemerintah berharap banyak pada sekolah-sekolah negeri di bawah program wajib belajar sembilan tahun untuk membentuk karakter melalui pendidikan karakter di sekolah. Kita tahu sendiri bahwa hal paling esensial dari bersekolah adalah belajar. Hal ini cukup menjelaskan bahwa nilai adalah hal paling utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Secara umum siswa yang nilai akhlak mulianya tinggi kebanyakan merupakan siswa yang memiliki nilai akademik yang tinggi. Siswa yang sejak awal mendapatkan nilai tinggi biasanya akan dilirik guru sebagai siswa teladan, diapresiasi dan merasa diketahui keberadaannya oleh masyarakat. Sedangkan siswa dengan nilai akademis yang rendah biasanya jarang mendapatkan perhatian dari teman-teman ataupun guru sehingga siswa akan berusaha menunjukan keberadaannya melalui tindakan yang kurang baik. Hal ini mencerminkan bahwa anggapan masyarakat di lingkungan sekitar dapat membangun citra diri seorang individu.[4]
            Diluar hakikat setiap orang yang membutuhkan pengakuan dari lingkungan, kecenderungan masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan karakter di mulai dari pertama kali masuk sekolah tampaknya harus diubah. Karakter seseorang sebenarnya sudah bisa dibentuk sejak usia balita. Bahkan pada usia balita sikap sikap seseorang bagaikan plastisin yang sangat mudah untuk di bentuk, yang kian memadat bersama bertambahnya usia seseorang. Orang tua berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang, lingkungan keluarga adalah lingkungan yang paling sering dijumpai oleh seseorang. Berbeda dengan sekolah, siswa hanya mengabiskan sebagian kecil waku dalam satu hari untuk belajar di sekolah. Jadi mmemberikan tanggung jawab yang besar kepada sekolah dalam pembentukan karakater merupakan tindakan yang seolah “kesiangan.”  Lalu jika sekolah yang bertanggung jawab besar atas hal ini, mengapa banyak orang tua yang malah menuntut guru saat memberikan hukuman bagi siswa? Buktinya banyak guru yang mendapatkan tindakan yang kurang menyenangkan dari siswa seperti yang banyak terjadi saat ini. Ini kah cermin pendidikan karakter di Indonesia.
Bangung Citra Diri Melalui Psiko Klinik
            Seorang anak lahir dan berkembang di lingkungan keluarga. Daya imitating  yang peling kuat di miliki seorang individu adalah saat usia emas—usia tiga sampai lima tahun—yang biasanya dilalui bersama di lingkungan keluarga. Persiapan pembentukan karakter harusnya dimulai sejak dini atau bahkan sejak kelahiran individu tersebut. Sikap dan karakter anak dapat diprediksikan dari sikap orang tuanya sendiri. Jika masuk ke Posyandu atau Puskesmas—yang notabene merupakan instansi terdekat bagi masyarakat—kita mungkin sering melihat poli gigi atau pos-pos khusus, namun sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada yang namanya Psiko klinik. Padahal hal ini sangat dibutuhkan untuk mengamati perkembangan psikologi anak-anak di setiap daerah. Hal ini juga didukung oleh minimnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan psikologi dalam membentuk karakter anak sehingga permintaan akan tanaga medis di bidang ini sangat jarang ditemui.
            Seperti jadwal imunisasi, pemerikasaan atau konsultasi mengenai perkembangan mental bayi juga harus dilaksanakan serentak dan berkala. Hal bertujuan untuk mengindentifikasi permasalahan yang terjadi di masyarakat atau di lingkungan keluarga. Sehingga karakter anak-anak dapat dibentuk sesuai dengan permasalahan dan potensi yang ada di daerah. Jika pemerintah dan masyarakat dapat merancak program ini maka pendidikan karakter bisa ditanamkan sejak dini.
           
           
Student Point Card Standarisasi Pendidikan Karakter di Sekolah
            Pendidikan secara akademik memang mamiliki memiliki standarisasi sehingga sistemnya jelas. Sedangkan tidak ada standar yang objektif dalam menanamkan pendidikan karakter disekolah. Menangani pendidikan karakter yang dianggap kesiangan di lingkungan kelurga maka sudah sepatutnya sekolah merancang sistem yang jelas untuk mencetak dan dapat mengukur seberapa jauh kah perkembangan karakter seseorang. Menanamkan 18 nilai karakter hanya dengan mengamati bagaimana sikap siswa di sekolah hanya tindakan subjektif semata. Berbeda halnya dengan yang telah dilaksanakan di SMA Negeri Bali Mandara. Di sekolah berasrama ini karakter seseorang selain dinilai dari perilaku sehari-hari juga menggunakan standarisasi berupa student point card (SPC).        Dalam SPC tersebut siswa akan mendapatkan modal nilai 50 dalam setiap kartu. Nilai ini dapat bertambah dan berkurang seseuai dengan prestasi yang diraih dan pelanggaran yang dilakukan siswa. Jika siswa meraih prestasi—baik akademik maupun nonakademik—maka siswa akan mendapatkan tambahan poin yang sesuai dengan rentanga berikut; di tinggkat sekolah mendapatkan tambahan 5 poin; di tingkat kecamatan, 10 pion; di tingkat kabupaten, 15 poin; di tingkat provinsi dan regional, 20 poin; di tingkat nasional 25 poin; dan tingkat internasional, mendapatkan poin sebesar 30 poin. Sedangkan poin akan dikurangi apabila siswa melakukan pelanggaran. Pengurakan poin sesuai dengan tingkatan berikut; pelanggran ringan, 5 poin; pelanggaran sedang 15 poin; dan pelanggaran berat, 25 poin.
            Dengan penerapan SPC ini siswa terpacu untuk meraih prestasi sesaui dengan bidang atau bakat yang disukai. Siswa juga mendapatkan pengakuan dari pihak lain atas bakat dan kemampuan yang dimiliki yang diimbuhi dengan rasa malu ketika mendapatkan pengurangan nilai akibat pelanggaran yang dilakukan siswa. Di akhis semester nilai tersebut akan diakumulasikan. Tiga orang siswa yang mendapatkan nilai tertinggi akan mendapatkan hadiah sedangkan siswa tiga siswa yang mendapatkan nilai terendah harus menyandang gelar the worse dan mendapatkan hukuman berupa pidato mengenai pendidikan karakter dan berbagai kegiatan public speaking yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran siswa.
            SPC memang sederhana, tidak perlu sistem komputer atau tes berstandar komputer untuk mengetahui karakter seseorang. Bahkan setelah diketahui tak banyak siswa yang malah haus akan pengakuan. SPC bukan hanya mengidentifikasi karakter siswa, menjadi bukti ketika orang tua tidak percaya akan hasil yang didapatkan siswa, namun juga membentuk percaya diri dan membangun citra diri positif seseorang. Mari bekerja sama membangung pohon karakter yang tegak menjulang shingga bayangan reputasi yang muncul dapat melindungi anak-anak tari terik matahari.
























Daftar Pustaka

Anonim, Mengatasi Kenakalan Remaja. http//: www. Helpguide.org, di unduh Rabu 20 Oktober 2016.
Ayuningtyas, N., Y. (2011) “Maraknya Kriminalitas Di Kalangan Pelajar”. Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
BKKBN.2013.”Fenomena Kenakalan Remaja Indonesia” http://ntb.bkkbn.go.id/lists/artikel/dispform.aspx?id=673&contenttypeid=0x0/
Diakses pada tanggal 18 Oktober 2016
Gunarsa, S., & Yulia, S.G. (2004). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hurlock, B., E. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjamg Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Santoso, Budi. 2013. “Salahnya Sistem Sekolah” http://pamuncar.blogspot.co.id/2013/01/salahnya-sistem-sekolah.html
              Diakses pada tanggal 20 Oktober 2016
Suara Islam.”Gaul Bebas Marak, Aborsi Meningkat” http://www.suara-islam.com/read/index/17461/Gaul-Bebas-Marak--Aborsi-Meningkat
              Diakses pada tanggal 19 Oktober 2016









[1] Suara Islam.”Gaul Bebas Marak, Aborsi Meningkat”
[2] BKKBN.2013.”Fenomena Kenakalan Remaja Indonesia”
[3] Dalam bahasa Indonesia disebut gunung es, dimana permasalahan yang tidak diketahui jauh lebih banyak di bandingkan dengan permasalahan yang diketahui.
[4] Santoso, Budi. 2013. “Salahnya Sistem Sekolah” 

2 komentar:

  1. Dengan spc, apakah tepat memberi sanksi (dalam hal ini pemotongan point) hanya dengan melihat bentuk luar dari pelanggaran itu? Kalo balik lagi tadi kan ada bahas masalah gunung es, permasalahan luar yang terlihat hanya berupa sedikit puncak dari gunung es sedangkan ada hal besar dibawahnya yang seakan luput

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi kak makasi sudah membaca artikel saya ;) Maaf saya baru bisa respon hehhe. Kalo tentang gunung es saya kira memang maknanya kurang lebih sama seperti yang kakak sampaikan. Untuk tetap atau tidak saya rasa hal merupakan tindakan yang tepat untuk memberikan efek jera secara individu namun tentu diperlukan kerja sama dari pihak guru untuk mengenal siswa lebih dalam sehingga lebih mudah untuk mengindetifikasi permasalahan dan sebab permasalahannya. Terimakasih kakak atas komentarnya

      Hapus