Kamis, 17 November 2016

SISTEM PERTANIAN DI INDONESIA

SIMANTRI, MENDIDIK PETANI DI LADANG TANI
Oleh : Ni Nengah Ari Widiastuti

            Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman… katanya
            Tapi kata kakekku, belum semua rakyat sejahtera, banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membuat surganya sendiri. (Film Tanah Surga… Katanya)
            Kutipan puisi diatas sebenarnya patut kita renungkan. Negeri ini memang negara yang subur, dengan berbagai jenis tanaman yang tumbuh diseluruh pulau. Tak tanggung-tanggung Indonesia digadang-gadang sebagai negara agraris terbesar di Asia Tenggara dengan luas daratan kurang lebih mencapai 1.904.569 km2. Tongkat dari batang singkong yang ditancapkan akan tumbuh yang manghasilkan umbi singkong, bahkan tanaman yang terlihat mati seperti suweg[1] ternyata bisa menggantikan tepung terigu sebagai sumber karbohidrat. Namun, banyak kalangan—bukan hanya pemerintah—yang memiliki mimpi besar untuk mengekspor berbagai produk, seolah tidak mengetahui bahwa masih banyak buruh penghasil beras yang jarang makan nasi. Sayangnya mimpi tersebut masih sekedar mimpi. Kenyataannya Indonesia masih impor kedelai dari Amerika Serika sebagai bahan baku pembuatan tempe yang notabene merupakan makanan asli Indonesia.[2]
            Tanah subur nan ajaib ini bukan lagi menjadi panggung bagi aktor-aktor ladang; ladang tani kini telah bersurat resmi dan menjadi hak milik perusahaan asing yang bergerak di sektor pertanian. Lahan tani juga telah disulap menjadi lintasan kereta api, menjadi instalator pembangkit listrik tenaga uap, menjadi pabrik atau masih banyak fasilitas yang dibangun demi kepentingan umum dan mengesampingkan kepentingan petani sehingga banyak petani yang menjadi buruh di lahan sendiri.[3] Kini petani beras tidak bisa makan beras, nalayan hanya makan bangkai ikan, sedangkan petani tebu bahkan tidak tahu semanis apakah gula tebu Indonesia. Masalah-masalah tersebut hanya puncak dari gunung es permasalahan di bidang pertanian, dimana permasalahan yang tidak teridentifikasi jauh lebih banyak dibandingkan yang kita ketahui. Melihat banyaknya masalah di sektor pertanian, mesih relevan kah sebutan negara agraris untuk negeri kita tercinta. Indonesia?
            Masalah dan solusi diciptakan seperti kancing baju dan lubangnya, saling berkaitan untuk membalut dan menghangatkan sang empunya. Masalah akan selalu berjodoh dengan solusinya, dengan kata lain setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Dalam esai ini penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai persamalah pertanian yang ada di Indonesia, kebijakan pemerintah di sektor pertanian serta Program Simantri sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan kesejahteraan petani.

Permasalahan Pertanian di Indonesia

                Pertanian adalah sektor yang menyumbang devisa yang cukup besar bagi perekonomian negara. Namun, laju pertumbuhan di sektor pertanian bisa dikatakan masih jalan di tempat;  dengan sumber daya yang melimpah, proses intensifitas dan perkembangan di sektor pertanian berjalan sangat lambat. Petani yang masih aktif saat ini adalah petani yang usianya telah melampaui usai produktif. Petani dianggap sebagai pekerjaan yang tuyuh[4] sehingga kebanyakan masyarakat enggan untuk menjadikan bertani sebagai profesi. Berdasarkan hasil sensus yang dilaksanakan oleh BPS pada tahun 2013, yang menyatakan bahwa jumlah rumah tangga petani menurun dari 31,17 juta pada tahun 2003 menjadi 26, 13 juta pada tahun 2013.[5] Hal ini diperburuk dengan kenyataan bahwa banyak petani yang menyekolahkan anaknya untuk menjadi guru ataupun dokter, atau dengan kata lain para petani menyekolahkan anaknya agar tidak bernasib sama dengan orang tuanya yang berprofesi sebagai petani. Bisa diprediksikan bahwa dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia tidak tidak dapat menyandang julukan sebagai negara agraris.
            Jumlah lahan yang terbatas membuat hasil produksi semakin menurun. Rata-rata jumlah lahan yang yang dimiliki petani bisa dikatakan sangat sempit yakni hanya 0,5 hektar per keluarga petani. Hal yang lebih buruk adalah 61,5% dari keseluruhan jumlah petani di Indonesia tidak memiliki lahan; sebagian besar petani adalah petani penggarap—petani yang yang tidak memiliki lahan sendiri—dan sebagian lainnya adalah buruh tani. Kebanyakan buruh tani bekerja di bekas ladang mereka sendiri yang kini telah dikelola oleh perusahaan yang bergerak di bidang pertanian. Berbanding terbalik dengan penurunan jumlah rumah tangga petani, jumlah perusahaan yang bergerak di sektor pertanian kini justru meningkat; kini jumlah perusahaan-perusahaan tersebut 5.486 pada tahun 2013 yang meningkat dari 4.011 pada tahun 2003. Selain itu, maraknya konversi lahan pertanian untuk berbagai kepentingan, bagaikan taburan garam pada luka para petani. Seperti yang terjadi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah,  para petani harus menderita karena lahan sumber nafkah mereka akan dikonversi untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Solusi yang diberikan oleh pemerintah pun kurang meyakinkan masyarakat petani, hingga pada saat proyek dimulai hal ini masih menjadi perkara.[6] Selain kasus ini banyak lahan yang disulap menjadi hotel, restoran dan berbagai bangunan sehingga daerah pertanian tidak berorientasi pada pertanian. Tak heran banyak petani yang malah beralih profesi dan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian mereka seperti, menjadi pedangang kaki lima ataupun buruh bangunan.
            Luas lahan yang terbatas dan ketidakpastian status kepemilikan tanah menyebabkan konflik antar petani pun bermunculan. Telah terjadi konflik 618 konflik dengan areal konflik seluas 2.399.341,49 hektar sejak tahun 2004 sampai 2012. Lebih dari 731.341 KK haris menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2013). Permasalahan di sektor pertanian memang sangat masif dan berlapis. Masyarakat terlalu fokus akan permasalahan sosial, seakan lupa bahwa hal paling esensial dari pertanian adalah bertani. Sahabat paling dekat sekaligus musuh paling licik bagi para petani adalah alam; perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan secara langsung akan berpengaruh terhadap masa depan bangsa.

 

Kebijakan Hukum di Sektor Pertanian

Di luar hakikat Indonesia sebagai negara agraris, di dalam Pancasila yakni sila ke lima dinyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak atas keadilan sosial. Begitu halnya petani juga berhak mendapatkan keadilan sosial dalam melaksanakan usaha. Sejalan dengan undang-undang dasar tahu 1945, salah satu tujuan pembangunan adalah mengupayakan sebesar-sebesarnya kesejahteraan para petani yang diatur dalam UU No. 19 tahun 2013. Pasal yang ditetapkan pada tanggal 6 Agustus 2013 ini mengatur perlindungan dan pemberdayaan petani yang meliputi perencanaan, pemberdayaan, pembiayaan, pendanaan, pengawasan dan peran serta masyarakat yang berlandaskan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan dan berkelanjutan. Undang-undang ini memiliki konsep kekeluargaan dimana masyarakat petani diharapkan dapat mengoptimalkan hasil pertanian yang berasaskan kekeluaragaan.[7]
            Selaman ini yang dilakukan pemerintah adalah memberikan bantuan berupa pupuk dan berbagai alat untuk mendukung kinerja petani. Subsidi yang diberikan masih  belum tepat sasaran mengingat masih banyak petani yang tidak mempunyai lahan. Selama ini hukum dan undang-undang yang berlaku dianggap belum komprehensif, sistematik dan holistik sehingga kurang memberikan jaminan bagi para petani. Selain itu sosialisasi mengenai hukum yang berlaku tidak dapat menjangkau masyarakat kecil yang tinggal di daerah 3T. Menjangkau daerah-daerah terpencil memang tidak mudah, sehingga dibutuhkan kerja sama yang mantap antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan otomi daerah. Pemerintah daerah megatur daerah yang lebih kecil dengan begitu pemerintah daerah tentu lebih tahu permasalahan di daerah.

Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi) Menuju Indonesia Mandiri Pangan

            Bali sebagai salah satu provinsi yang sebagian besar penduduknya merupakan petani; diindikasikan dengan keberadaan subak[8] sebagai sistem irigasi bagi para petani. Provinsi Bali juga memiliki permasalahan yang tidak kalah peliknya dalam bidang pertanian, salah satu contoh yang kerap terjadi di Bali adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi objek wisata. Untuk mengatasi permasalahan ini, Pemerintah Provinsi Bali menciptakan sebuah program trobosan di bidang pertanian yakni Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi) yang dicanangkan pada tahun 2009. Dalam pelaksanaannya, program ini mengintergrasikan kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dalam satu kawasan pengelolaan secara terpadu dengan kelengkapan unit pengelolaan kompos, pengolahan pakan serta instalasi bio urin dan bio gas. Kegiatan integrasi berorientasi pada kegiatan pertanian tanpa limbah atau dikenal dengan istilah 0-W untuk zero waste dan menghasilkan 4-F untuk food, feed, fertilizer dan fuel.[9]  
            Seperti program pada umumnya, pada awal pelaksanaan program Pemerintah Provinsi Bali mengalami kesulitan dalam untuk meyakinkan masyarakat—khusunya masyarakat petani—untuk berpartisipasi dalam program ini. Namun, setelah didirikan beberapa unit pada tahun pertama, program ini mendadak menjadi primadona di kalangan masyarakat. Dinas terkait yakni Dinas Pertanian Provinsi Bali harus melakukan kajian terhadap setiap proposal yang masuk guna meminimalisasi kemungkinan program yang salah sasaran. Jumlah kelompok tani di Bali kini kian meningkat. Pada tahun 2011, jumlah simantri telah mencapai 200 unit yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Bali. Pada tahun-tahun selanjutnya Pemprov Bali berhasil menambah 100 unit Simantri. Hal ini mengindikasikan bahwa program ini mampu membantu menangani permaslahan pertanian, khususnya di Bali. Selain memberikan bantuan berupak ternak, alat pembuatan bio urin dan bio gas pemerintah juga rutin melaksanakan peninjauan langsung ke lapangan guna memastikan kerberlangsungan program. Salah satu kelompok tani yang yang berhasil adalah Kelompok Ternak Tani Pucak Manik di Desa Lokapaksa. Kelompok tani yang satu ini merupakan salah satu pilot projek[10] dari program Simantri. Program ini diharapkan mampu menjadi model yang baik, serta dapat dicontoh secara umum di Indonesia menyesuaikan dengan pendapatan setiap daerah dan keadaan alam di daerah.
            “Tapi kata kakekku, belum semua rakyat sejahtera, banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membuat surganya sendiri”
Jangan sampai kutipan puisi ini benar-benar menjadi karakter pemerintahan di Indonesia. Segala program yang dicanangkan memang memerlukan sinergi yang super dari berbagai pihak. Namun, segala elemen yang turut dalam program ini diharapkan mampu menunjukan integrasi terbaiknya. Jika Indonesia adalah surga bagi pemeran sentral drama bertani, maka Indonesia adalah surganya surga bagi para pemimpin.

Daftar Pustaka

Alihamsyah T., Muhrizal Sarwani dan Isdianto Ar-Riza. 2002. Komponen Utama Teknologi Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan Produksi Padi Masa Depan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Amelia,Lola. 2013. “Masih Relevankah Menyebut Indonesia Sebagai Negara Agraris.” The Indonesian Institut.             file:///D:/P/Masih%20Relevankah%20Menyebut%20Indonesia%20Sebagai%20Negara%20Agraris_%20-%20The%20Indonesian%20Institute.html  Diakses pada tanggal 7 Oktober 2016.
Birohumas, Provinsi Bali.2011.Program Unggulan Bali Mandara. http://www.birohumas.baliprov.go.id/index.php/fasilitas/16/SIMANTRI. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2016.
Darwanto, D.H. 1993. “Rice Varietal Improvement and Productivity Growth in Indonesia.” Unpublished Ph.D. Dissertation. University of The Philippines, Los Banos.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2010. Membangun Desa Secara Berkelanjutan
Heitansyah, Frendy. 2014. “Masalah Pertanian di Indonesia Serta Peran Mahasiwa bagi Pembangunan ke depannya”. Diakses pada tanggal 3 Oktober 2016
Kompas.com.2015.Proyek PLTU Batang Dimulai Meski Ada Masalah. http://print.kompas.com/baca/ekonomi/sektor-riil/2015/08/28/Proyek-PLTU-Batang-Dimulai-meski-Ada-Masalah Diakses pada tanggal 4 Oktober 2015
Liputan6.2013.”Daftar 28 Bahan Pokok yang Masih Diimpor oleh Indonesia.” http://bisnis.liputan6.com/read/657271/daftar-28-bahan-pokok-yang-masih-diimpor-indonesia. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016.
Mubyarto dan Suratno. 1981. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP2ES, Jakarta.
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, Bali.
Satriya.2013.Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang “Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Wajib Dipahami.” file:///D:/P/UU%2019_2013%20tentang%20Perlindungan%20dan%20Pemberdayaan%20Petani%20Wajib%20Dipahami%20-%20KOMPASIANA.com.html
Suyamto, I.Las DKK. 2007. Tanya Jawab Tentang PTT. PUSLITBANGTAN.Bogor.





[1] Suweg merupakan tanaman endemik yang masih kerabat dari bunga bangkai. Banyak peneliti yang menemukan bahwa suweg berpotensi untuk menggantikan tepung terigu.
[2] Liputan6.2013. “Daftar 28 Bahan Pokok yang Masih Diimpor oleh Indonesia.” Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016.
[3] Heitansyah, Frendy. 2014. “Masalah Pertanian di Indonesia Serta Peran Mahasiwa bagi Pembangunan ke depannya.” Diakses pada tanggal 3 Oktober 2016
[4] Tuyuh berarti sangat merepotkan dan melelahkan namun hasil yang didapatkan tidak sebanding apa usaha yang telah dilakukan.
[5] Amelia,Lola. 2013. ”Masih Relevankah Menyebut Indonesia Sebagai Negara Agraris.” The Indonesian Institut. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2016.

[6] Kompas.com.2015.Proyek PLTU Batang Dimulai Meski Ada Masalah. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2015
[7] Satriya.2013.Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang “Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Wajib Dipahami.” Diakses pada tanggal 2 Oktober.
[8] Sistem irigasi pertanian di Bali.
[9] Birohumas, Provinsi Bali.2011.Program Unggulan Bali Mandara. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2016.
[10] Dalam program Bali Mandara pilot projek berarti kelompok petani yang diunggulkan dan dibentuk pada awal pelaksanaan program sehingga dapat dijadikan model bagi kelompok-kelompok lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar