Kamis, 21 April 2016

Following the foot-print of RA Kartini

QUOTES
“I have been longing to make the acquaintance of a 'modern girl,' that proud, independent girl who has all my sympathy! She who, happy and self-reliant, lightly and alertly steps her way through life, full of enthusiasm and warm feelings; working not only for her own well-being and happiness, but for the greater good of humanity as a whole.”
—Raden Adjeng Kartini
Synopsis
Raden Adjeng Kartini was born on April 21, 1879, in Mayong, Indonesia. In 1903, she opened the first Indonesian primary school for native girls that did not discriminate based on social standing. She corresponded with Dutch colonial officials to further the cause of Javanese women's emancipation up until her death, on September 17, 1904, in Rembang Regency, Java. In 1911, her letters were published.
Early Years
Raden Adjeng Kartini was born to a noble family on April 21, 1879, in the village of Mayong, Java, Indonesia. Kartini's mother, Ngasirah, was the daughter of a religious scholar. Her father, Sosroningrat, was a Javanese aristocrat working for the Dutch colonial government. This afforded Kartini the opportunity to go to a Dutch school, at the age of 6. The school opened her eyes to Western ideals. During this time, Kartini also took sewing lessons from another regent's wife, Mrs. Marie Ovink-Soer. Ovink-Soer imparted her feminist views to Kartini, and was therefore instrumental in planting the seed for Kartini's later activism.
When Kartini reached adolescence, Javanese tradition dictated that she leave her Dutch school for the sheltered existence deemed appropriate to a young female noble.
Feminist
Struggling to adapt to isolation, Kartini wrote letters to Ovink-Soer and her Dutch schoolmates, protesting the gender inequality of Javanese traditions such as forced marriages at a young age, which denied women the freedom to pursue an education.
Ironically, in her eagerness to escape her isolation, Kartini was quick to accept a marriage proposal arranged by her father. On November 8, 1903, she wed the regent of Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat. Joyodiningrat was 26 years older than Kartini, and already had three wives and 12 children. Kartini had recently been offered a scholarship to study abroad, and the marriage dashed her hopes of accepting it. According to Javanese tradition, at 24 she was too old to expect to marry well.
Intent on spreading her feminist message, with her new husband's approval, Kartini soon set about planning to start her own school for Javanese girls. With help from the Dutch government, in 1903 she opened the first Indonesian primary school for native girls that did not discriminate on the basis of their social status. The school was set up inside her father's home, and taught girls a progressive, Western-based curriculum. To Kartini, the ideal education for a young woman encouraged empowerment and enlightenment. She also promoted their lifelong pursuit of education. To that end, Kartini regularly corresponded with feminist Stella Zeehandelaar as well as numerous Dutch officials with the authority to further the cause of Javanese women's emancipation from oppressive laws and traditions. Her letters also expressed her Javanese nationalist sentiments.
Death and Legacy
On September 17, 1904, at the age of 25, Kartini died in the regency of Rembang, Java, of complications from giving birth to her first child. Seven years after her death, one of her correspondents, Jacques H. Abendanon, published a collection of Kartini's letters, entitled "From Darkness to Light: Thoughts About and on Behalf of the Javanese People." In Indonesia, Kartini Day is still celebrated annually on Kartini's birthday.

 Cite: http://www.biography.com/people/raden-adjeng-kartini-37859
accesed: April 21st 2016 in USA 

Selasa, 05 April 2016

Cerpen Inspiratif

“Olegku Tamulilinganmu”
Karya: Ari Widiastuti

Gemercik air mengingatkanku akan seseorang yang membuatku mengerti akan hidup dan kesempatan, membawaku ke masa lalu yang aku lewati dengan tawa bersamanya. Ya! Disini di sanggar ini, kita bertemu, aku ingat betul saat aku diantar oleh ibuku ke sanggar tari Laksmi yang sangat terkenal itu. Aku juga masih sangat ingat saat aku merengek tidak ingin ditinggalkan oleh ibuku, tapi ibuku tetap pergi dan menitipkanku pada tanteku yang sekaligus adalah ibu dari Bagus. Bagus adalah tetanggaku yang konon katanya waktu kelahirannya bertepatan denganku, tapi aku merasa belum dekat dengannya bahkan aku marasa dia sangat asing bagiku. Alisnya yang tebal, bibirnya yang merah sungguh menandakan bahwa dia meledekku, apalagi ditambah dengan giginya yang ompong, aku merasa sangat kesal melihat semuanya, di tengah kesedihanku bisa-bisanya dia tertawa.
“Jegeg, jangan nangis kenapa kamu tetap menangis? Kan sudah sama tante, sama Bagus juga.” Tanya Tante Ayu sambil memegang tanganku dan menghapus air mataku.
Dengan mata yang sembab dan air mata yang masih mengalir deras, sederas keran di kamar mandiku. Akupun menjawab Tante Ayu.
“Nggak mau tante, Geg mau pulang sama mama saja, Geg ga mau belajar nari, Geg mau pulang tante”.
“Aduh kamu ribut sekali Jegeg, nggak tahu apa sanggar ini bagus, jadi sini sama aku saja”, kata Bagus seraya meraih tanganku.
Tante Ayu bergegas memegang tangan kami dan memakaikan kemben untuk kami berdua. “Ayo pakai dulu, Jegeg harus berhenti menangis ya! Lihat tu, banyak teman-teman yang lain, mereka senang kok, Bagus juga senang” hibur tante Ayu.
Aku mulai berhenti menangis tapi wajahku tetap saja murung, aku berfikir aku seharusnya bisa menulis ataupun bermain boneka di kamarku. Ugh aku kesel ditambah lagi melihat tingkah Bagus yang sok pintar.
“Ayo anak-anak berkumpul dulu disini” Ujar Bu Dayu guru sanggarku saat menyuruh anak-anak sanggarnya memulai latihan.
Tiba-tiba “ Hey kamu anak baru ya? kenalin namaku Galuh, udah ayo sini sama aku sekarang kita belajar dasar saja dulu” ujar seseorang yang belum pernah aku lihat, sosoknya putih, cantik berambut panjanng hitam dan lurus, umurnya sih kayaknya sama denganku, tapi kenapa dia tidak menanyakan tentang namaku?
Dia mulai melenggok dengan halusnya, mengagem, nyeledet, malpal, semua sudah dikuasai, sedangkan aku hanya bisa bengong tanpa berbuat apa. Sampai kemudian kak Siska mengajariku tentang agem yang benar dan bagaimana cara menguasai sebuah tarian melalui ekspresi dan gerakan yang mantap. Sejak saat itu aku berfikir bahwa menari bukanlah hal yang buruk malah kegiatan ini sangat bermanfaat untuk kita.
“Jegeg ayo pulang” kata Bagus mengagetkan
“Mana tante Ayu, aku nggak mau pulang sama kamu aja, dasar anak tengil” bantahku
“Aduhh dasar cengeng, mamaku udah pulang, rumah kita kan dekat jadi ga usah takut kenapa-kenapa, sini tanganmu aku rasa kamu belum bisa menyebrang dengan baik dehh” katanya meremhkanku seraya meraih tanganku.
Sejak saat itu aku sering berlatih bersama bagus, apalagi sejak dia dibelikan sepeda aku sering dibonceng saat pergi ke sanggar, ya mungkin karena kita lahir pada waktu dan tempat yang bersamaan jadi ada sedikit keakraban yang walaupun kadang sangat aneh yang selalu aku rasakan saat bersamanya.
Enam bulan berlatih akhirnya saatnya aku tampil, tubuhku yang lumayan tinggi dengan muka tirus membuatku menjadi orang yang cocok untuk menarikan tarian Oleg. Lagi-lagi Bagus yang menjadi tamulilingan untukku. Malam pementasanpun datang, pakaian berkelip, bunga emas yang menghiasi rambut dan makeup tebal menjadi saksi pementasan pertamaku. Hatiku degdegan saat keluar dari langse dan melihat ramainya penonton, aku bisa melihat Ibu, tante Ayu dan Kakaku dari kejauhan, ketenganganku bertambah saat Bagus masuk ke panggung dan menari denganku, entah perasaan aneh apa yang muncul saat itu. Bagus terlihat berbeda, berwiwabawa tanpa gigi ompong dan tampangnya yang kayak Sunoe dalam kartun jepang Doraeomon seketika musnah.
Setelah pementasan aku dan Bagus mulai berfoto-foto, giginya yang omppong kembali terlihat, uuucccchhhh pengentak cubit diaa.
“Jegeg, akhirnya sukses juga kita, tapi menurutku penonton sangat terpukau padaku saat aku keluar semuanya bersorak, sial aku keren banget” kata Bagus dengan padanya.
“Jadi menurutmu aku ga penting gitu dalam pementasan ini?” labrakku.
“Ya iya deh penting, dasar nenek sihir” katanya.
Aku mencubit pipiya dan kita tertawa bersama.
Sejak saat itu aku sering mengisi acara dengan menari, entah tari klasik ataupun tari kreasi aku pasti selalu berpasangan dengan makhluk bergigi ompong itu, tapi semua pementasan selalu berkesan sampai saat aku SMP aku pernah menari tarian Galang Bulan bersamanya, saat pementasan orang bilang ada yang aneh dengan pementasanku ternyata Bu Ayu lupa memakaikanku badong, dan ternyatanya lagi bagus yang menyembunyikan badong itu sungguuhhh aku kesel dengannya.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, aku dan bagus mulai bernajak dewasa, aku memilih utuk kuliah kedokteran dan dia lebih memilih mengembangkan bakat seninya dan melanjutkan study di ISI (Institut Seni Indonesia), tapi kami tetap sering menari bersama, Oleg Tamulilingan adalah tarian yang paling sering kami tarikan. Tak ada lagi Bagus kecil dengan gigi ompongnya, tak ada lagi Bagus yang tengil dan sok pinter. Kini ia benar-benar tumbuh menjadi pria tampan yang sebenarnya aku kagumi, entah mengapa aku tidak bisa jauh darinya walaupun aku selalu berusaha menyembunyikan perasaanku.
Suatu ketika saat kota tempat tinggal kami berulang tahun aku dan bagus mendapatkan tawaran untuk pentas dalam pementasan tari kreasi. Aku dan bagus kembali menjadi pasangan sebagai Oleg dan Tamulilingan. Kami berlatih sangat keras setiap malamnya bahkan terkadang sampai jam 10 atau 11 malam, aku yang membawa motor sendiri terkadang sangat takut sampai motorku mogok diperempatan dekat balai kota.
“Adduuuuhhh apa-apaan nih, motor kamu ngapain berhenti ayo hidup lagi dong, mama aku mau pulaang” saat itu waktu telah menujukan pukul 11.30 malam, konon katanya di perempatan itu memang agak sedikit angker. Tiba-tiba sesuatu meraba bahuku.
“Ampun jangan ngganggu saya, saya tau ini tempatnya tuan, jangan ganggu saya ya taun, biarin saya lewat yaw. Jangan minum darah saya, sumpah deh darah saya oahit sekali, apalagi saya kurus begini tidak punya daging, besok akan saya bawakan sesuatu untuk tuan, Om Santih-Santih-Santih Om” ocehku panik sambil berusaha berlari, namun sesuatu itu malah memegang  tanganku erat dan tidak membiarkanku pergi.
“Jangan minum darah saya, saya mohon”
“Dasar penakut, ini aku Bagus, dari dulu ga pernah berbubah ya cewek satu ini, bangun neng Jegeg” terdengar seuara yang tidak asing lagi untukku, dan aku mulai membuka mata perlahan
“Bagus, ini kamu kan bukan siluman, aku takut banget” kataku sambil meraba-raba muka dan tanganya.
“Ini aku udah deh” dia meraih tanganku, tiba-tiba perutku berbunyi, maklumlah sedari sore aku belum makan.
“Ih apaan tuh” kata Bagus sembari mencari sesuatu  yang berbunyi.
“Hehehehe” aku pun nyengir.
Dia bertanya padaku dengan pandangan yang meledek “Pasti belum makan ya, ya udah makan di Melati aja ya, oh ya inget ngisi bensin ya jangan ampe mogok tengah jalan kaya gini, untung aku yang ngeliat, kalo yang ngeliat beneran siluman gimana?”
“Kok kamu perhatian sih sama aku?” tanyaku menunduk.
“Ya cantik, aku kan peduli sama kamu”
Deg hatiku tiba-tiba berdegup kencang, sangat kencang bahkan lebih  kencang dari kendang yang di pukul oleh pak Made saat pementasan barong.
“Lho kok bengong, lama ya kita nggak latihan bersama, pulang bersama dan jajan bersama, lama juga aku nggak liat tingkah konyolmu itu”
“Kamu kangen ya sama aku, ah nggak mungkin, abaikan”
“Kok kamu jawab sendiri pertanyaanmu? Aku mau jawab. Iya aku kangen sama Jegeg yang cengeng, penakut, lucu, cerewet semuanya” matanya berbinar melihatku.
“Ah kamu ngerjain  aku ya?” Ini betul-betul aneh, aku tak menyangka akan menjadi seperti ini, Bagus benar-benar menunjukan sikap yang berbeda padaku. Aku masih ingat dulu dia sangat mementingkan dirinya sendiri, selalu membagi upah pentas dengan tidak rata. Tapi sekarang dia sangat berbeda.
“Nggak kok, aku benar-benar merindukanmu Geg, aku menyadari kaberadaanmu disampingku adalah kebahagiaanku” dia mulai meraih  tanganku.
“Ini semua maksudnya apa?” tanyaku.
“Aku mencintaimu Olegku” bisiknya padaku.
Aku tak mampu berkata apapun, aku hanya bisa terdiam dan detak jantungkupun semakin keras, jauh semakin keras dan  keras. Bagus memang orang yang aku dambakan tapi semua ini membuatku shok dan sama sekali tidak menyangka.
“Kenapa diam, apa kamu masih tetap menganggapku sebagai seorang bagus kecil yang ompong?”
“Tidak, aku tak pernah menganggapmu seperti itu”
“Maukah kau menjadi kekasihku, menjadi oleg untukku, dan aku menjadi tamulilingan untuk mu?”
“Aku akan berikan jawabannya di akhir pementasan nanti”
Hari pementasanpun tiba, aku menari dalam suasana yang sangat berbeda dari biasanya, menari bersama seseorang yang aku kangumi dan sekaligus mengagumiku. Senyum manisnya, semuanya membuat semangatku bergelora, tiba-tiba ditengah pementasan aku terjatuh pingsan. Aku terbangun di ruangan dingin dan sangat dingin, kata ibuku aku menderita kanker sumsum tulang belakang dan sangat sulit untuk menyembuhkannya kecuali ada orang yang rela menyumbangkan sumsum tulang belakangnya untukku. Keadaanku terus memburuk, tapi Bagus tak pernah mengunjungiku, aku berfikir apa  yang dikatakannya malam itu hanyalah sebuah bercandaan saja, sampai aku ada pada saat-saat kritis bahkan sangat kritis, umurku mungkin akan segera berakhir, dokter sudah pasrah dan hanya bisa menolongku dengan membantu pernafasanku.
Saat dokter memutuskan untuk mencabut alat bentu pernafansan untuk perawatanku, tiba-tiba ada kabar bahwa seseorang yang umurnya sebaya denganku rela menyumbangkan sumsum tulang belakangnya untukku. Siapapun orang itu aku sangat berterima kaih padanya, dia yang telah memberikan hidup kedua padaku. Operasi sumsum tulang belakang sangatlah  menyakitkan, dokter sukses memntransfer sumsum tulang belakang orang itu padaku.
Dua minggu setelah perawatan akupun pulang, aku sangat ingin bertemu dengan Bagus dan bertanya padanya mengapa dia tidak pernah menjengukku, bahkan sekalipun tidak saat aku terpuruk bahkan hampir mati seperti itu. Sekaligus aku ingin menjawab pertanyaannya malam itu. Aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Bagus.
“Tante Ayu, ada Bagus gak” tanyaku pada  Tante Ayu setelah  Tante Ayu membukakan pintu untukku. Tapi bukan jawaban yang aku dapatkan Tante Ayu malah menangis dan memelukku.
“Tante kanapa kok tante nangis, Bagus dimana tante?”
“Jegeg, perlu kamu tau, Bagus sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanaya”, rasanya langit mau runtuh mendengar hal itu, aku tak percaya.
“Nggak mungkin, dia di dalamkan tante, dia masih ada disini dan sedang membersihkan kendang kesayanganya” tanyaku panik sambil mencarinya kedalam rumah.
“Nak Bagus adalah anak melik, yang bisa meninggal kapan saja, dia pergi tepat sehari setelah pementasan terakhir bersamamu berkahir” air mataku menetes saat itu, tangisanpun tak bisa ku bendung.
“Kenapa tidak ada yang memberitaukannya padaku tante, setidaknya Jegeg bisa nemenin dia di saat-saat terakhir, Bagus jangan tinggalin Jegeg, jangan tinggalin olegmu ini” rontaku sambil terus memanggil namanya.
“Sudah lah nak, dia telah pergi meninggalkan kita untuk selamanya, dia telah tenang di alam sana dengan semua kenangan indah bersama kita. Sebelum dia pergi dia menitipkan sesuatu padamu” kata tante Ayu sambil menyerahkan sebuah kotak kado padaku.
Saat aku buka, sebuah miniatur patung Oleg Tamulilingan yang dibawahnya terukir namaku dan namanya, dan sebuah surat yang mengatakan bahwa, dia akan selalu mencintaiku sampai kapanpun, sekarang dan selamanya, di dunia ini ataupun di keabadian sana. Dia memang melik, dan dialah orang yang merelakan sumsum tulang belakangnya untukku. Saat itu pula tangisanku pacah lagi, aku merasa bahwa akulah penyebab kepergiannya, walaupun Tante Ayu sudah meyakikan bahwa kepergiannya memang sudah takdir dari yang kuasa.
Kini aku hidup dalam bayang-bayang masa lalu bersamanya, hidup dengan bagian dari raganya, sebagain anggota tubuh dari tamulilingku. Dengan begitu aku bisa menari bersamanya selamanya, menari dengan tamulilingan yang lahir memang untuk melengkapi segala kekurangku. Aku bertekad untuk tetap menari dan menari, kini akupun menjadi pelatih menari di sanggar yang membesarkan aku dan Tamulilinganku.