SIMANTRI, MENDIDIK PETANI DI LADANG TANI
Oleh : Ni Nengah Ari Widiastuti
Orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman… katanya
Tapi kata kakekku, belum semua
rakyat sejahtera, banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membuat
surganya sendiri. (Film Tanah Surga… Katanya)
Kutipan
puisi diatas sebenarnya patut kita renungkan. Negeri ini memang negara yang
subur, dengan berbagai jenis tanaman yang tumbuh diseluruh pulau. Tak
tanggung-tanggung Indonesia digadang-gadang sebagai negara agraris terbesar di Asia
Tenggara dengan luas daratan kurang lebih mencapai 1.904.569 km2.
Tongkat dari batang singkong yang ditancapkan akan tumbuh yang manghasilkan
umbi singkong, bahkan tanaman yang terlihat mati seperti suweg[1]
ternyata bisa menggantikan tepung terigu sebagai sumber karbohidrat. Namun,
banyak kalangan—bukan hanya pemerintah—yang memiliki mimpi besar untuk
mengekspor berbagai produk, seolah tidak mengetahui bahwa masih banyak buruh
penghasil beras yang jarang makan nasi. Sayangnya mimpi tersebut masih sekedar
mimpi. Kenyataannya Indonesia masih impor kedelai dari Amerika Serika sebagai
bahan baku pembuatan tempe yang notabene merupakan makanan asli Indonesia.[2]
Tanah subur nan ajaib ini bukan lagi
menjadi panggung bagi aktor-aktor ladang; ladang tani kini telah bersurat resmi
dan menjadi hak milik perusahaan asing yang bergerak di sektor pertanian. Lahan
tani juga telah disulap menjadi lintasan kereta api, menjadi instalator
pembangkit listrik tenaga uap, menjadi pabrik atau masih banyak fasilitas yang
dibangun demi kepentingan umum dan mengesampingkan kepentingan petani sehingga
banyak petani yang menjadi buruh di lahan sendiri.[3] Kini
petani beras tidak bisa makan beras, nalayan hanya makan bangkai ikan,
sedangkan petani tebu bahkan tidak tahu semanis apakah gula tebu Indonesia.
Masalah-masalah tersebut hanya puncak dari gunung es permasalahan di bidang
pertanian, dimana permasalahan yang tidak teridentifikasi jauh lebih banyak
dibandingkan yang kita ketahui. Melihat banyaknya masalah di sektor pertanian,
mesih relevan kah sebutan negara agraris untuk negeri kita tercinta. Indonesia?
Masalah dan solusi diciptakan
seperti kancing baju dan lubangnya, saling berkaitan untuk membalut dan
menghangatkan sang empunya. Masalah akan selalu berjodoh dengan solusinya,
dengan kata lain setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Dalam esai ini penulis
ingin mengkaji lebih dalam mengenai persamalah pertanian yang ada di Indonesia,
kebijakan pemerintah di sektor pertanian serta Program Simantri sebagai salah
satu solusi dalam meningkatkan kesejahteraan petani.
Permasalahan Pertanian di
Indonesia
Pertanian adalah sektor yang menyumbang
devisa yang cukup besar bagi perekonomian negara. Namun,
laju pertumbuhan di sektor pertanian bisa dikatakan masih jalan di tempat; dengan sumber daya yang melimpah, proses
intensifitas dan perkembangan di sektor pertanian berjalan sangat lambat. Petani yang masih aktif saat ini adalah petani yang
usianya telah melampaui usai produktif. Petani dianggap sebagai pekerjaan yang tuyuh[4]
sehingga kebanyakan masyarakat enggan untuk menjadikan bertani sebagai
profesi. Berdasarkan hasil sensus yang dilaksanakan oleh BPS pada tahun 2013, yang menyatakan bahwa jumlah rumah tangga
petani menurun dari 31,17 juta pada tahun 2003 menjadi 26, 13 juta pada tahun
2013.[5] Hal
ini diperburuk dengan kenyataan bahwa banyak petani yang menyekolahkan anaknya
untuk menjadi guru
ataupun dokter, atau dengan kata lain para petani menyekolahkan anaknya agar tidak bernasib
sama dengan orang tuanya yang berprofesi sebagai petani. Bisa diprediksikan
bahwa dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia tidak tidak dapat menyandang
julukan sebagai negara agraris.
Jumlah
lahan yang terbatas membuat hasil produksi semakin menurun. Rata-rata jumlah
lahan yang yang dimiliki petani bisa dikatakan sangat sempit yakni hanya 0,5
hektar per keluarga petani. Hal yang lebih buruk adalah 61,5% dari keseluruhan
jumlah petani di Indonesia tidak memiliki lahan; sebagian besar petani adalah
petani penggarap—petani yang yang tidak memiliki lahan sendiri—dan sebagian
lainnya adalah buruh tani. Kebanyakan buruh tani bekerja di bekas ladang mereka sendiri
yang kini telah dikelola oleh perusahaan yang bergerak di bidang pertanian. Berbanding terbalik dengan penurunan jumlah
rumah tangga petani, jumlah perusahaan yang bergerak di sektor pertanian kini
justru meningkat; kini jumlah perusahaan-perusahaan tersebut 5.486 pada tahun
2013 yang meningkat dari 4.011 pada tahun 2003. Selain itu, maraknya konversi
lahan pertanian untuk berbagai kepentingan, bagaikan taburan garam pada luka para petani. Seperti
yang terjadi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, para petani harus menderita karena lahan
sumber nafkah mereka akan dikonversi untuk pembangunan pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU). Solusi yang diberikan oleh pemerintah pun kurang meyakinkan
masyarakat petani, hingga pada saat proyek dimulai hal ini masih menjadi
perkara.[6] Selain
kasus ini banyak lahan yang disulap menjadi hotel, restoran dan berbagai bangunan
sehingga daerah pertanian tidak berorientasi pada pertanian. Tak heran banyak
petani yang malah beralih profesi dan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai
dengan keahlian mereka seperti, menjadi pedangang kaki lima ataupun buruh
bangunan.
Luas lahan yang terbatas dan
ketidakpastian status kepemilikan tanah menyebabkan konflik antar petani pun
bermunculan. Telah terjadi konflik 618 konflik dengan areal konflik seluas
2.399.341,49 hektar sejak tahun 2004 sampai 2012. Lebih dari 731.341 KK haris
menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. (Konsorsium
Pembaruan Agraria, 2013). Permasalahan di sektor pertanian memang sangat masif
dan berlapis. Masyarakat terlalu fokus akan permasalahan sosial, seakan lupa
bahwa hal paling esensial dari pertanian adalah bertani. Sahabat paling dekat
sekaligus musuh paling licik bagi para petani adalah alam; perubahan iklim
sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas hasil pertanian dan secara
langsung akan berpengaruh terhadap masa depan bangsa.
Kebijakan Hukum di Sektor
Pertanian
Di
luar hakikat Indonesia sebagai negara agraris, di dalam
Pancasila yakni sila ke lima dinyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak atas
keadilan sosial. Begitu halnya petani juga berhak mendapatkan keadilan sosial
dalam melaksanakan usaha. Sejalan dengan undang-undang dasar tahu
1945, salah satu tujuan pembangunan adalah mengupayakan sebesar-sebesarnya
kesejahteraan para petani yang diatur dalam UU No. 19 tahun 2013. Pasal yang
ditetapkan pada tanggal 6 Agustus 2013 ini mengatur perlindungan dan
pemberdayaan petani yang meliputi perencanaan, pemberdayaan, pembiayaan,
pendanaan, pengawasan dan peran serta masyarakat yang berlandaskan asas
kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan
dan berkelanjutan. Undang-undang ini memiliki konsep kekeluargaan dimana masyarakat
petani diharapkan dapat mengoptimalkan hasil pertanian yang berasaskan
kekeluaragaan.[7]
Selaman ini yang dilakukan
pemerintah adalah memberikan bantuan berupa pupuk dan berbagai alat untuk
mendukung kinerja petani. Subsidi yang diberikan masih belum tepat sasaran mengingat masih banyak
petani yang tidak mempunyai lahan. Selama ini hukum dan undang-undang yang
berlaku dianggap belum komprehensif, sistematik dan holistik sehingga kurang
memberikan jaminan bagi para petani. Selain itu sosialisasi mengenai hukum yang
berlaku tidak dapat menjangkau masyarakat kecil yang tinggal di daerah 3T. Menjangkau
daerah-daerah terpencil memang tidak mudah, sehingga dibutuhkan kerja sama yang
mantap antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan otomi
daerah. Pemerintah daerah megatur daerah yang lebih kecil dengan begitu
pemerintah daerah tentu lebih tahu permasalahan di daerah.
Simantri (Sistem Pertanian
Terintegrasi) Menuju Indonesia Mandiri Pangan
Bali sebagai salah satu provinsi
yang sebagian besar penduduknya merupakan petani; diindikasikan dengan
keberadaan subak[8]
sebagai sistem irigasi bagi para petani. Provinsi Bali juga memiliki
permasalahan yang tidak kalah peliknya dalam bidang pertanian, salah satu contoh
yang kerap terjadi di Bali adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi objek
wisata. Untuk mengatasi permasalahan ini, Pemerintah Provinsi Bali menciptakan
sebuah program trobosan di bidang pertanian yakni Simantri (Sistem Pertanian
Terintegrasi) yang dicanangkan pada tahun 2009. Dalam pelaksanaannya, program
ini mengintergrasikan kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan
dalam satu kawasan pengelolaan secara terpadu dengan kelengkapan unit
pengelolaan kompos, pengolahan pakan serta instalasi bio urin dan bio gas. Kegiatan
integrasi berorientasi pada kegiatan pertanian tanpa limbah atau dikenal dengan
istilah 0-W untuk zero waste dan
menghasilkan 4-F untuk food, feed,
fertilizer dan fuel.[9]
Seperti program pada umumnya, pada
awal pelaksanaan program Pemerintah Provinsi Bali mengalami kesulitan dalam
untuk meyakinkan masyarakat—khusunya masyarakat petani—untuk berpartisipasi
dalam program ini. Namun, setelah didirikan beberapa unit pada tahun pertama,
program ini mendadak menjadi primadona di kalangan masyarakat. Dinas terkait
yakni Dinas Pertanian Provinsi Bali harus melakukan kajian terhadap setiap
proposal yang masuk guna meminimalisasi kemungkinan program yang salah sasaran.
Jumlah kelompok tani di Bali kini kian meningkat. Pada tahun 2011, jumlah
simantri telah mencapai 200 unit yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di
Bali. Pada tahun-tahun selanjutnya Pemprov Bali berhasil menambah 100 unit Simantri.
Hal ini mengindikasikan bahwa program ini mampu membantu menangani permaslahan
pertanian, khususnya di Bali. Selain memberikan bantuan berupak ternak, alat
pembuatan bio urin dan bio gas pemerintah juga rutin melaksanakan peninjauan
langsung ke lapangan guna memastikan kerberlangsungan program. Salah satu
kelompok tani yang yang berhasil adalah Kelompok Ternak Tani Pucak Manik di
Desa Lokapaksa. Kelompok tani yang satu ini merupakan salah satu pilot projek[10] dari
program Simantri. Program ini diharapkan mampu menjadi model yang baik, serta
dapat dicontoh secara umum di Indonesia menyesuaikan dengan pendapatan setiap
daerah dan keadaan alam di daerah.
“Tapi kata kakekku, belum semua rakyat
sejahtera, banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membuat surganya
sendiri”
Jangan sampai kutipan puisi ini
benar-benar menjadi karakter pemerintahan di Indonesia. Segala program yang
dicanangkan memang memerlukan sinergi yang super dari berbagai pihak. Namun,
segala elemen yang turut dalam program ini diharapkan mampu menunjukan
integrasi terbaiknya. Jika Indonesia adalah surga bagi pemeran sentral drama
bertani, maka Indonesia adalah surganya surga bagi para pemimpin.
Daftar Pustaka
Alihamsyah
T., Muhrizal Sarwani dan Isdianto Ar-Riza. 2002. Komponen Utama Teknologi
Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan Produksi Padi Masa
Depan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di
Sukamandi 22 Maret 2002.
Amelia,Lola.
2013. “Masih Relevankah Menyebut Indonesia Sebagai Negara Agraris.” The
Indonesian Institut. file:///D:/P/Masih%20Relevankah%20Menyebut%20Indonesia%20Sebagai%20Negara%20Agraris_%20-%20The%20Indonesian%20Institute.html Diakses pada tanggal 7 Oktober 2016.
Birohumas,
Provinsi Bali.2011.Program Unggulan Bali Mandara. http://www.birohumas.baliprov.go.id/index.php/fasilitas/16/SIMANTRI.
Diakses pada tanggal 1 Oktober 2016.
Darwanto,
D.H. 1993. “Rice Varietal Improvement and Productivity Growth in Indonesia.”
Unpublished Ph.D. Dissertation. University of The Philippines, Los Banos.
Dinas Pertanian
Tanaman Pangan. 2010. Membangun Desa Secara Berkelanjutan
Heitansyah,
Frendy. 2014. “Masalah Pertanian di Indonesia Serta Peran Mahasiwa bagi
Pembangunan ke depannya”. Diakses pada tanggal 3 Oktober 2016
Kompas.com.2015.Proyek
PLTU Batang Dimulai Meski Ada Masalah. http://print.kompas.com/baca/ekonomi/sektor-riil/2015/08/28/Proyek-PLTU-Batang-Dimulai-meski-Ada-Masalah
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2015
Liputan6.2013.”Daftar 28 Bahan Pokok
yang Masih Diimpor oleh Indonesia.” http://bisnis.liputan6.com/read/657271/daftar-28-bahan-pokok-yang-masih-diimpor-indonesia.
Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016.
Mubyarto
dan Suratno. 1981. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP2ES, Jakarta.
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, Bali.
Satriya.2013.Undang-Undang
No. 19 Tahun 2013 tentang “Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Wajib
Dipahami.” file:///D:/P/UU%2019_2013%20tentang%20Perlindungan%20dan%20Pemberdayaan%20Petani%20Wajib%20Dipahami%20-%20KOMPASIANA.com.html
Suyamto,
I.Las DKK. 2007. Tanya Jawab Tentang PTT. PUSLITBANGTAN.Bogor.
[1] Suweg merupakan tanaman
endemik yang masih kerabat dari bunga bangkai. Banyak peneliti yang menemukan
bahwa suweg berpotensi untuk menggantikan tepung terigu.
[2] Liputan6.2013. “Daftar
28 Bahan Pokok yang Masih Diimpor oleh Indonesia.” Diakses pada tanggal 15
Agustus 2016.
[3] Heitansyah, Frendy.
2014. “Masalah Pertanian di Indonesia Serta Peran Mahasiwa bagi Pembangunan ke
depannya.” Diakses pada tanggal 3 Oktober 2016
[4] Tuyuh
berarti sangat merepotkan dan melelahkan namun hasil yang didapatkan tidak
sebanding apa usaha yang telah dilakukan.
[5] Amelia,Lola. 2013. ”Masih
Relevankah Menyebut Indonesia Sebagai Negara Agraris.” The Indonesian Institut.
Diakses pada tanggal 7 Oktober 2016.
[6] Kompas.com.2015.Proyek
PLTU Batang Dimulai Meski Ada Masalah. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2015
[7] Satriya.2013.Undang-Undang
No. 19 Tahun 2013 tentang “Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Wajib Dipahami.”
Diakses pada tanggal 2 Oktober.
[9] Birohumas, Provinsi
Bali.2011.Program Unggulan Bali Mandara. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2016.
[10] Dalam program Bali
Mandara pilot projek berarti kelompok petani yang diunggulkan dan dibentuk pada
awal pelaksanaan program sehingga dapat dijadikan model bagi kelompok-kelompok
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar